Beranda | Artikel
Renungan al-Kahfi (Bagian 04)
Jumat, 5 Desember 2014

Renungan al-Kahfi (Bagian 04)

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Pada pembahasan sebelumnya kita telah mengupas berbagai pelajaran berharga dari surat al-Kahfi hingga ayat 31. Kita akan kembali melanjutkan beberapa pelajaran penting yang bisa kita gali dari surat al-Kahfi. Kali ini, kita akan mengupas kisah sohibul jannatain (pemilik 2 kebun) bersama kawannya,

Pertama, gambaran umum kisah

Ada dua orang, yang satu as-Syakir, orang mukmin yang pandai bersyukur, meskipun tidak memiliki harta yang berlimpah. Sementara satunya, orang yang kufur nikmat, namun dia diberi banyak harta nan berlimpah. Karena sifatnya berbeda, maka muncul dua karakter yang berbeda. Tingkah lakunya berbeda, ucapannya berbeda, semangatnya juga berbeda. Hingga akhirnya, Allah berikan balasan yang berbeda.

Sehingga pembaca bisa menentukan, kemanakah dia akan berpihak, dan siapakah yang akan mereka jadikan panutan.

Seperti yang pernah kita singgung di awal, bahwa surat al-Kahfi turun sebagai mukadimah hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Di sana memuat banyak cerita untuk semakin meneguhkan hati mereka ketika hendak berhijrah. Meninggalkan harta di Mekah, berpindah ke daerah lain, dengan konsekuensi harus jatuh miskin. Meniti karir mulai dari nol.

Kisah sohibul jannatain menggambarkan bahwa banyak harta bukan jaminan akan berujung pada kebahagiaan hidup. Bahkan bisa menjadi sumber fitnah bagi hidup manusia.

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا رَجُلَيْنِ جَعَلْنَا لِأَحَدِهِمَا جَنَّتَيْنِ مِنْ أَعْنَابٍ وَحَفَفْنَاهُمَا بِنَخْلٍ وَجَعَلْنَا بَيْنَهُمَا زَرْعًا . كِلْتَا الْجَنَّتَيْنِ آَتَتْ أُكُلَهَا وَلَمْ تَظْلِمْ مِنْهُ شَيْئًا وَفَجَّرْنَا خِلَالَهُمَا نَهَرًا

Berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon korma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang ( ) Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.

Kedua, Orang yang mengingkari adanya kiamat adalah orang yang mendzalimi dirinya sendiri.

وَدَخَلَ جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ أَبَدًا

Dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya

Ketiga, terkadang ada orang menyangka, ketika dia diberi kenikmatan dunia, dia juga akan diberi kenikmatan akhirat. Padahal dua hal ini sama sekali tidak ada hubungannya.

وَمَا أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لَأَجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا

Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu.”

Seperti inilah standar kebahagiaan orang kafir. semua diukur berdasarkan materi. Sampai yang dia bayangkan, andai dia dibangkitkan setelah mati, dia akan mendapatkan harta yang semisal dengan apa yang dia miliki saat ini.

Keempat, sebagian ulama berpendapat, kafir dan syirik adalah dua kata yang sinonim.

Orang mukmin, temannya pemilik kebun mengingatkan si pemilik kebun yang sombong bahwa dirinya telah kafir kepada Allah, karena mengingkari hari pembalasan. Kemudian, ketika Allah membinasakan kebun itu, dia baru sadar dan mengatakan, ‘Andai dulu aku tidak berbuat syirik.’

Allah berfirman, menceritakan nasehat yang diberikan teman yang mukmin,

قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ….

“Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya — sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah…”

Ketika pemilik kebun itu menyesal, dia mengatakan,

وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا

Dia mengatakan, “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.”

Akan tetapi pendapat yang benar, kekufuran lebih umum dibandingkan kesyirikan. Semua kesyirikan adalah kekufuran, namun tidak semua kekufuran adalah kesyirikan.

Kekufuran adalah semua perbuatan yang menyebabkan seseorang keluar dari islam

Kesyirikan adalah menyekutukan Allah, dalam bentuk menyamakan makhluk dengan selain Allah.

Dalam kasus sohibul jannatain, kekufurannya dinilai syirik, karena dia meyakini bahwa ada makhluk yang abadi selain Allah, yaitu kebunnya. Padahal Dzat yang abadi hanya Allah. Sementara meyakini ada makhluk yang memiliki sifat yang sama dengan salah satu sifat Allah, termasuk kesyirikan.

Kelima, anjuran memuji Allah ketika melihat semua yang mengagungkan.

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا

mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah”, Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.

Orang itu mengingatkan si pemilik kebun untuk mengucapkan ‘maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah’ ketika dia terkagum-kagum dengan kebunnya. Karena karakter orang yang beriman, mereka mengembalikan semuanya kepada Allah.

Catatan 1:

Diantara manfaat memuji Allah ketika melihat sesuatu yang mengagumkan adalah agar tidak terkena dampak buruk karena ‘ain(pandangan mata karena keheranan).

Dari Abdullah bin Amir Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ أَوْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

“Apabila kalian melihat sesuatu yang menakjubkan pada saudaranya, atau dirinya, atau hartanya, maka hendaklah ia mendoakan keberkahan untuk yang dia lihat, karena sesungguhnya penyakit ‘ain benar-benar ada.” (HR. Ahmad 16110, Ibn Majah 3638, dan dishahihkan al-Albani).

Catatan 2:

Jatuh sakit karena pandangan mata, sering diistilahkan dengan kesambet atau sawanen. Tidak hanya menimpa fisik manusia, namun juga menimpa yang lainnya. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita mendoakan keberkahan dan memuji Allah ketika melihat semua yang menakjubkan dan membanggakan. Baik yang ada pada diri kita, benda di sekitar kita atau pada orang lain.

Catatan 3:

Apa hubungan antara pandangan mata dengan sakit yang dialami manusia?

Bahwa semua yang ada di sekitar kita adalah nikmat Allah. Diri kita, harta kita, termasuk yang dimiliki orang lain. Allah-lah Sang pemilik kenikmatan itu dan hanya Allah yang kuasa memberikannya.

Ketika kita lalai memuji Allah dan hanyut dalam kekaguman, bisa jadi Allah mengingatkan kita dengan teguran keras, yaitu dengan cara mencabut nikmat tersebut.

Karena Dia tidak rela bila ada dari hamba-Nya yang hanyut dalam kekaguman sehingga melimpahkan pujiannya kepada sesama makhluk, tanpa menyebut diri-Nya.

Kita telah diajari oleh Allah bahwa satu-satu Dzat yang memiliki segala pujian hanya Allah. Sebagaimana ditegaskan pada surat al-Fatihah.

Demikianlah penjelasan as-Sa’di dalam dalam tafsirnya tentang korelasi antara kekaguman, sanjungan dan efek buruk yang diakibatkannya, berupa penyakit atau lainnya. (Taisir Karim ar-Rahman, as-Sa’di, hlm. 477).

Keenam, bahwa untuk memakmurkan dunia, manusia butuh modal. Sebagaimana memakmurkan urusan akhirat juga membutuhkan modal. Keduanya Allah sebut berinfaq. Namun kita bisa simak hasilnya. Ada yang Allah abadikan balasannya, dan ada yang hanya sementara. Bahkan modal yang kita kelurkan untuk memakmurkan dunia, terkadang mengalami kegagalan.

وَأُحِيطَ بِثَمَرِهِ فَأَصْبَحَ يُقَلِّبُ كَفَّيْهِ عَلَى مَا أَنْفَقَ فِيهَا وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا وَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُشْرِكْ بِرَبِّي أَحَدًا

Harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah infakkan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama janjangnya.

Berbeda dengan infaq untuk akhirat. Orang berusaha menjaga amalan infaqnya, akan Allah abadikan pahalanya. Allah berfirman,

وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Semua yang mereka nafkahkan baik nafkah kecil dan maupun yang besar dan tidaklah mereka melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. at-Taubah: 121).

Allahu a’lam

Bersambung insyaaAllah…

Baca sebelumnya:

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/23966-renungan-al-kahfi-bagian-04.html